Tugas
Makalah…!
PENATAAN HUTAN
“ Rehabilitasi Hutan Di Indonesia; akan ke
manakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?”
OLEH:
I
S R A
D1B5 09 086
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa
kegiatan pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan yang salah satu kegiatannya adalah pengelolaan
hutan. Pengelolaan hutan itu sendiri menurut pada pasal 21 dijelaskan bawah
kegaiatan pengelolaan hutan meliputi tata hutan dan penyusunan pengelolaan
hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan rekalamasi hutan dan
perlindungan hutan dan konservasi alam.
Rehabilitasi hutan adalah
upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga
daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam rehabilitasi
hutan meliputi reboisasi; pemeliharaan tanaman; pengayaan tanaman; dan
penerapan teknik konservasi tanah. Dimana kegiatan ini dilakukan untuk
memulihkan lahan hutan di Indonesia yang telah mengalami degardasi sebagai
akibat dari kegiatan penebangan liar, kebakaran hutan, konversi hutan, perluasan
pertanian yang tidak terencana dan konsekuensi dari dimulainya Era Reformasi
serta konflik sosial atas sumberdaya hutan.
Pada masa lalu, sebagian besar program rehabilitasi
dikendalikan oleh pemerintah, tergantung pada pendanaan dari Pemerintah Indonesia
dan donor internasional dan umumnya terfokus pada aspek-aspek teknis.
Pengaturan kelembagaan untuk melaksanakan program rehabilitasi secara efektif
di lapangan belum dikembangkan. Sebagai akibatnya, teknik rehabilitasi kurang
diadopsi oleh masyarakat setempat, baik yang tinggal di dalam maupun di sekitar
wilayah sasaran.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan Pendekatan
inovatif untuk mencapai tujuan program rehabilitasi, juga pada saat yang
bersamaan dapat memberikan manfaat sosial-ekonomi kepada perusahaan dan
masyarakat setempat, sehingga fungsi hutan akan tetap berkelanjutan sejalan
dengan di adakanya rehabilitasi hutan yang mengalami degradasi dan arah ke
dapannya akan lebih baik.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Telah
terjadi degradasi hutan di Indonesia
2. Rehabilitasi
hutan pada masa lalu kurang melibatkan masryarakat setempat.
C.
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan
dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui sejarah dari rehabilitasi
hutan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan
serta arah dari kebijakan tersebut.
Manfaat
dari pembuatan makalah ini yaitu agar dapat mengetahui sejarah dari
rehabilitasi hutan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
merehabilitasi hutan serta arah dari kebijakan tersebut.
II.
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Kondisi Deforestasi dan
Degradasi Lahan
Perubahan yang dinamis dalam pengelolaan hutan
berdampak pada deforestasi dan degradasi lahan, serta program rehabilitasi
terkait yang dilaksanakan pada masa lalu dan masa sekarang ini. Kebijakan
pengelolaan hutan di Indonesia selama lima puluh tahun terakhir termasuk dalam
empat periode utama dengan prioritasnya masing-masing. Selama tahun 1950-an
hingga tahun 1975 perhatian utama tertuju pada perluasan pertanian, sedangkan
penerbitan ijin hak pengusahaan hutan menjadi prioritas utama dari tahun 1975
sampai tahun 1990an, sementara awal tahun 1990-an hingga 1997 terfokus pada
pengelolaan hutan di luar kawasan hutan. Pada periode terakhir dari tahun 1998
sampai sekarang, Indonesia mengalami
perubahan besar di bidang politik dengan pergantian dari Orde Baru ke Era
Reformasi. Perubahan dalam kebijakan pengelolaan hutan selalu sejalan dengan
tujuan perbaikan kondisi perekonomian nasional. Perubahan yang dinamis tersebut
juga berdampak pada peningkatan laju deforestasi, pada aspek ekologi dan
penghidupan masyarakat, dan pada program rehabilitasi yang dilaksanakan pada
masa lalu dan masa sekarang ini.
-
Faktor pendorong deforestasi dan
degradasi lahan yaitu:
1. Faktor pendorong secara langsung;
Penyebab langsung adalah kegiatan penebangan hutan, penebangan liar, dan
kebakaran hutan yang tidak dapat dikendalikan dan sering terjadi, terutama pada
musim kemarau yang panjang.
2. Faktor pendorong tidak langsung;
Penyebab tidak langsung, antara lain, adalah kegagalan pasar (misalnya
penetapan harga kayu yang terlalu rendah), kegagalan kebijakan (misalnya
pemberian ijin HPH selama 20 tahun yang tidak menjadi insentif untuk melakukan
penanaman pengkayaan), serta persoalan sosial-ekonomi dan politik lainnya
secara umum.
3.
Kebijakan dan
Program Di Masa Lalu dan Sekarang yang Mempengaruhi Kegiatan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan
Dari tahun 1950-an sampai tahun 1970-an pendekatan
yang digunakan dalam kebijakan rehabilitasi hutan umumnya bersifat top-down,
yang kemudian menjelang akhir tahun 1990-an secara konseptual menjadi lebih
partisipatif. Dari tahun 1950-an sampai tahun 1970-an pendekatan yang digunakan
dalam kebijakan rehabilitasi hutan umumnya bersifat top-down, yang kemudian menjelang
akhir tahun 1990-an secara konseptual menjadi lebi partisipatif.
Sistem klasifikasi lahan hutan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK), yang disusun pada tahun 1984, bertujuan agar rehabilitasi
di dalam kawasan hutan menjadi lebih tepat sasaran, namun, konflik batas
wilayah telah menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. TGHK
ditumpang tindihkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). Kedua
hal tersebut menjadi dasar dalam perencanaan dan pengendalian pengembangan Hak
Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan.
Pengembangan HTI dengan tujuan merehabilitasi areal bekas penebangan
menyebabkan degradasi dan luas wilayah untuk direhabilitasi semakin bertambah.
Sebagian besar perusahaan memperoleh HTI bukan untuk mengembangkan hutan,
melainkan untuk menebang habis tegakan hutan yang masih tersisa. Setelah
ditebang, pengelolaan areal tersebut tidak dilanjutkan.
Kebijakan yang mengakibatkan resiko lebih tinggi
karena areal bekas penebangan menjadi ‘tanah tidak bertuan’: Ketidakjelasan
status hutan di areal konsesi yang dibatalkan. Karena kurangnya pengawasan, dan
tidak konsistennya penerapan aturan yang ada, maka banyak HPH yang dicabut hak
konsesinya, sehingga banyak areal bekas penebangan menjadi tanah tidak bertuan
dan areal hutan terdegradasi bertambah luas.
Areal hutan dengan tingkat degradasi yang sangat
parah seringkali merupakan akibat dari kebijakan yang tidak konsisten, seperti
yang terjadi pada kasus program rehabilitasi yang diserahkan pada badan usaha
milik negara. Hal ini tercermin pada pembatalan kebijakan program rehabilitasi
yang diserahkan kepada badan usaha milik negara (Inhutani I-V). Setelah baru
berjalan selama tiga tahun, program tersebut ditangguhkan tanpa kelanjutan yang
jelas.
Kegiatan rehabilitasi pada tingkat nasional setelah
Era Reformasi. Sejak tahun 1999, program rehabilitasi yang dilaksanakan di
bawah kebijakan otonomi daerah dihadapkan pada tekanan yang lebih berat
terhadap areal dan hutan yang telah direhabilitasi, misalnya perambahan hutan.
Pengelolaan Dana Reboisasi. Peraturan pemerintah yang berlaku mengenai Dana
Reboisasi (DR) adalah PP No. 35 yang ditetapkan pada tahun 2002 untuk
menggantikan PP No. 6/1999. Peraturan tersebut menetapkan bahwa empat puluh
persen dari DR dialokasikan kembali kepada propinsi yang telah menyumbang pada
Dana Reboisasi pemerintah pusat (disebut ‘propinsi penghasil’). Alhasil data
mengenai realisasi luas wilayah yang telah direhabilitasi melalui program ini
tidak tercatat dengan baik.
4.
Tinjauan
Nasional Sejarah dan Karakteristik Kegiatan Rehabilitasi
Sejarah panjang mengenai kegiatan rehabilitasi hutan
dapat dibagi ke dalam 6 periode utama, yaitu: pra-kolonial hingga masa
kolonial, masa kolonial hingga tahun 1960-an, tahun 1960-an hingga tahun
1970-an, tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, tahun 1980-an hingga tahun
1990-an, dan tahun 1990-an sampai sekarang. Selama lima puluh tahun terakhir,
terdapat 150 proyek rehabilitasi formal pada sekitar 400 lokasi yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah proyek baru meningkat tajam sejak 1980-an
dan mencapai lebih dari dua kali lipat antara tahun 1990-an hingga tahun 2004.
Hal ini dikarenakan tingkat deforestasi yang masih terus meningkat sejak akhir
tahun 1990-an dan sedikit sekali proyek rehabilitasi terdahulu yang menunjukkan
hasil positif.
Karakteristik penting, tujuan dan pendekatan
kegiatan rehabilitasi dari konservasi hingga peningkatan kesejahteraan
masyarakat Setelah terjadinya bencana banjir besar pada akhir tahun 1970-an di
Solo, Jawa Tengah, pemerintah melancarkan kegiatan rehabilitasi yang lebih
serius yang merupakan titik balik penting dalam penerapan pendekatan
rehabilitasi hutan yang berbeda. Pelaksanaan usahatani konservasi di lahan
miring dengan menerapkan metode konservasi tanah dan air, yang menggabungkan
teknik vegetatif dan sipil teknis, menjadi sistem yang paling efektif dan
sering digunakan, terutama di pulau Jawa.
Sejak diberlakukannya TGHK pada tahun 1984,
konservasi telah menjadi tujuan spesifik pada kegiatan rehabilitasi di kawasan
hutan lindung dan hutan konservasi. Tujuan utama kegiatan rehabilitasi di
kawasan hutan lindung adalah perbaikan fungsi ekologis, sedangkan di kawasan
hutan konservasi pelestarian keanekaragaman hayati menjadi tujuan utama. Namun,
usaha tersebut masih belum efektif dan terhambat oleh berbagai masalah, antara
lain, penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan hutan yang dikarenakan
tekanan dari peningkatan jumlah penduduk serta persaingan penggunaan lahan.
Dalam
pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan selama ini, daerah aliran sungai
selalu menjadi dasar yang dipakai sebagai unit pengelolaan. Pendekatan daerah
aliran sungai bersifat lebih holistik; dapat digunakan untuk mengevaluasi
hubungan antara faktor biofisik dan intensitas kegiatan sosial, ekonomi, dan
budaya dari hulu ke hilir; dan merupakan cara yang cepat dan mudah dalam
mengevaluasi dampak terhadap lingkungan. Namun demikian, beberapa masalah
sering terjadi, seperti: 1) keefektifan dan relevansi sistem perencanaan masih
diragukan, 2) perencanaan kurang terpadu sehingga tidak bisa dilaksanakan di
tingkat lapangan; 3) perencanaan tidak sejalan dengan peraturan pemerintah
setempat; serta 4) kriteria dan indikator pengawasan dan evaluasi belum
sepenuhnya lengkap dan matang.
- Kendala
dan Hambatan Utama bagi Keberlanjutan Kegiatan Rehabilitasi.
Walaupun aspek teknis cukup ditekankan
pada kegiatan rehabilitasi di masa lalu atau yang sedang berlangsung, hanya
sedikit sekali adanya hasil positif yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Penilaian ini berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tingkat proyek.
Ciri-ciri yang diamati dari pelaksanaan proyek adalah: karakterisasi lokasi
sebagai bagian dari tahap persiapan, pertimbangan kesesuaian jenis dengan kondisi lokasi, penyiapan bibit, penyiapan
lokasi atau lahan, penanaman yang tepat waktu, serta adanya perencanaan untuk
pemeliharaan.
Adanya persemaian pada setiap proyek
rehabilitasi sangat penting dalam tahapan mpenyiapan bibit. Namun demikian,
prasarana pendukung tersebut tidak ada pada sebagian besar proyek. Hanya 23%
dari jumlah proyek yang menyatakan ketersediaan persemaian dan teknik yang
digunakan dalam penyiapan bibit, dimana 20% proyek mempunyai persemaian dan 13%
proyek memenuhi standar minimum kualitas bibit. Maka tidak mengejutkan lagi,
bahwa pada sebagian besar proyek keberhasilan (persen hidup) tanamannya di
lapangan rendah.
Kurang dari setengah responden (40%
dalam Database 2) menyatakan bahwa aspek sosial-budaya telah dipertimbangkan
dalam proyek. Indikator pada aspek sosial-budaya adalah pengakuan organisasi
masyarakat setempat sebagai mitra
proyek. Seringkali lembaga adat setempat tidak diperhitungkan untuk
peran ini. Lagipula, masyarakat hanya diberikan hak terbatas dan setengah-setengah
untuk mengelola wilayah yang telah direhabilitasi, khususnya di dalam kawasan
hutan.
Beberapa permasalahan dalam proses
pemberian hak kepada masyarakat adalah bahwa hak yang diberikan tidak cukup
bermakna, prosesnya dilakukan secara top-down, tidak adanya proses verifikasi
di lapangan dan tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik yang jelas. Tidak
adanya mekanisme penyelesaian konflik mengakibatkan bertambahnya ketegangan
sosial di lokasi yang akan direhabilitasi. Jenis konflik yang terjadi di dalam
kawasan hutan lebih serius dan lebih luas dibandingkan dengan konflik yang
terjadi di lahan masyarakat, dan sering berdampak pada keberlanjutan proyek
rehabilitasi.
D. Potret Rehabilitasi Di Indonesia:
Dampak Dan Pembelajaran Dari Sepuluh Studi Kasus
Penanaman pohon dalam proyek rehabilitasi
menghasilkan beragam jenis produk dengan sebagian besar proyek menghasilkan
lebih dari satu produk, seperti kayu, buah-buahan, kayu bakar dan tanaman
pangan atau sayur-sayuran sebagai tanaman tumpangsari. Indikator lain dalam
menilai dampak terhadap produktivitas lahan adalah perbandingan pertumbuhan
dari ketiga kelompok tanaman, yang menunjukkan bahwa riap tinggi dan diameter
tanaman yang terendah terdapat pada jenis pohon hutan. Riap tertinggi ditemukan
pada jenis pohon serba guna.
-
Dampak rehabilitasi pada areal bekas
kebakaran cenderung kurang berkelanjutan dibandingkan dengan areal bekas
penebangan.
Melalui
suksesi alami vegetasi di areal bekas penebangan dapat dikembalikan pada fase
klimaks hutan tropis jika ancaman kebakaran tergolong rendah. Namun, di
beberapa areal bekas penebangan ancaman kebakaran meningkat pada saat suhu
udara meningkat.
-
Dampak terhadap mata pencaharian:
manfaat bagi masyarakat berbasis proyek berjangka pendek.
Masyarakat
yang terlibat dalam proyek yang dilaksanakan di luar kawasan hutan lebih mudah
meningkatkan pendapatannya setelah 5 tahun proyek berjalan dan pada tahun-tahun
berikutnya. Proyek yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan mempunyai
kecenderungan kurang menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi masyarakat
setempat, bahkan setelah 5 tahun proyek berjalan. Pada jangka pendek (kurang
dari 5 tahun) pendapatan masyarakat umumnya berasal dari upah bekerja sebagai
buruh proyek. Namun, dalam jangka panjang, tanpa adanya hak formal untuk
memanen kayu di dalam kawasan hutan, masyarakat di sekitar lokasi proyek
memanfaatkan hutan dan hasil hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten
saja. Namun demikian, pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan proyek
rehabilitasi masih kurang penting dibandingkan dengan sumber pendapatan
keluarga lainnya, seperti penjualan hasil tanaman pertanian dan pendapatan
bukan dari pertanian.
- Dampak terhadap hak akses masyarakat pada sumberdaya hutan.
Kepastian
kepemilikan lahan, dan akses pada pohon dan sumberdaya hutan lainnya, merupakan
dua dampak positif bagi masyarakat setempat dari proyek rehabilitasi. Dengan
hak yang lebih jelas dan pasti atas areal rehabilitasi dan akses pada
sumberdaya yang dikelola secara kolektif, maka kekuatan kelembagaan dan budaya
tradisional masyarakat setempat akan meningkat, dan ikatan sosial juga akan membaik. Pada gilirannya, hal ini
menuntun pada keterwakilan masyarakat yang jelas dalam segala aspek pengelolaan
sumberdaya alam.
-
Kapasitas kelembagaan membaik, tapi
masih terdapat konflik dan tingkat ikatan sosial masih rendah.
Dampak
yang paling signifikan pada jangka panjang diukur dari kapasitas kelembagaan
masyarakat yang meningkat, termasuk keterwakilan masyarakat dalam berbagai
aspek pengelolaan sumberdaya alam, dan pada kelembagaan serta kekuatan
sosial-budaya masyarakat. Pemberdayaan kelembagaan masyarakat menjadi penting
untuk meningkatkan kepastian atas kepemilikan lahan. Kelembagaan masyarakat
yang lemah menyebabkan keterwakilan masyarakat yang kurang dalam pengelolaan
proyek, yang pada gilirannya mengakibatkan ketidakpuasan, konflik atas status
lahan yang meningkat, dan tingkat ikatan sosial yang rendah.
Terdapat
tiga sumber konflik atas pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan: 1) benturan
kepentingan antara lembaga adat, perusahaan, LSM dan pemerintah, yang tercermin
pada hak pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang tumpang tindih; 2) batas lahan
yang tidak disepakati oleh semua pihak; serta 3) perambahan hutan karena
lemahnya penegakan hukum dan hak pengelolaan yang tidak jelas. Konflik di dalam
kawasan hutan seringkali lebih besar dan lebih serius daripada konflik yang
terjadi di lahan masyarakat. Sejak era Reformasi masalah perambahan hutan
meningkat, yang sering merupakan akibat dari kurangnya kejelasan mengenai siapa
yang berhak atas penggunaan lahan, serta lemahnya penegakan hukum.
-
Pengaturan kegiatan rehabilitasi:
suatu evolusi dari pendekatan top-down menjadi pendekatan partisipatif berikut
dampaknya.
Proyek
yang dimulai pada periode top-down mempunyai lebih banyak ciri positif dari segi
intervensi teknis dibandingkan dengan proyek yang dimulai dengan pendekatan
transisi ataupun secara partisipatif. Hal ini terjadi karena dimulai lebih dari
30 tahun yang lalu, sehingga proyek telah menghasilkan efek pengganda
(multiplier effects) dan dampak lainnya. Terdapat lima faktor penting yang
signifikan dalam memotivasi dan meningkatkan keberhasilan rehabilitasi hutan
dan lahan, berdasarkan pembelajaran pada studi kasus Hutan Rakyat, yakni: (1)
dukungan kebijakan dari Bupati, (2) meningkatnya kesadaran kritis atas
pentingnya upaya rehabilitasi pada berbagai pihak, khususnya LSM (sejak tahun
1990-an) sehingga kelembagaan setempat dapat dibentuk, (3) budaya feodal
patron–client (yang di bawah melayani yang di atas), (4) dukungan modal dalam
pengembangan Hutan Rakyat yang berasal dari kiriman anggota keluarga yang
bekerja di luar daerah, dan (5) komitmen yang kuat dari masyarakat dalam
mengembangkan Hutan Rakyat.
Proyek
yang dilaksanakan selama periode transisi masih dicirikan oleh karakteristik
dan budaya sentralistik Selama periode transisi, peran masyarakat setempat dan
kelompok masyarakat sipil, seperti LSM dan lembaga lokal atau adat, sedikit
mengalami peningkatan. Pada umumnya perubahan ini terjadi sebagai akibat
tekanan yang kuat dari kelompok yang menginginkan lebih banyak keterlibatan
masyarakat dalam seluruh kegiatan pembangunan.
Keterlibatan
aktif masyarakat setempat merupakan salah satu unsur penting yang mendukung
keberlangsungan serta keberhasilan proyek rehabilitasi. Selain itu, intervensi
teknis perlu dipilih secara hati-hati dan dirancang dengan mempertimbangkan
kondisi ekologi penyebab degradasi, terutama yang sering merupakan gangguan
pada areal yang sudah direhabilitasi dan menjadi permasalahan bagi masyarakat
setempat.
E.
Reorientasi
Program Rehabilitasi di Indonesia: akan ke manakah arahnya setelah lebih dari
tiga dasawarsa?
-
Tingkat rehabilitasi yang tertinggal
oleh laju degradasi hutan dan alokasi anggaran rehabilitasi yang kurang
efektif.
Selama
tiga dasawarsa terakhir, tampaknya pemerintah Indonesia telah berusaha untuk
mengatasi degradasi hutan yang semakin meningkat, dan berbagai akibat yang
ditimbulkan dari degradasi tersebut. Namun, target pemerintah untuk
merehabilitasi 18,7 juta ha dari tahun 1970-an hingga tahun 2004 tidak tercapai,
sehingga sisa hutan terdegradasi yang seharusnya 24,9 juta ha, sekarang justru
menjadi dua kali lipat yaitu 43,6 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini
kegiatan dan proyek rehabilitasi belum berhasil, demikian pula kebijakan serta
program yang ada belum bisa mengatasi masalah penyebab degradasi hutan yang
sesungguhnya.
Rehabilitasi
hutan dan lahan cenderung dilaksanakan sebagai kegiatan yang reaktif daripada
kegiatan proaktif yang diintegrasikan dengan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
hutan yang telah ada. Kegiatan rehabilitasi selama ini pada umumnya dibiayai
dari anggaran pemerintah. Biaya rehabilitasi per ha secara umum ternyata lebih
besar daripada biaya pembangunan HTI (Rp. 5 juta atau US$ 550 per ha). Biaya
rehabilitasi per ha berkisar antara US$ 43 hingga US$15.221 per ha tergantung
pada sumber pendanaan. Biaya terendah terdapat pada proyek pemerintah,
sementara biaya tertinggi terdapat pada proyek yang didanai lembaga donor
internasional karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk tenaga ahli teknis
asing yang biasanya dihitung sebagai bagian dari biaya proyek.
Proyek
pemerintah yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan ternyata lebih mahal
daripada proyek di luar kawasan hutan atau di lahan masyarakat. Besarnya jumlah
anggaran kehutanan yang dialokasikan untuk kegiatan rehabilitasi, rendahnya
luas areal yang berhasil direhabilitasi pada program pemerintah, serta
tingginya biaya per ha, merupakan indikasi kuat bahwa selama ini pelaksanaan
kegiatan rehabilitasi kurang efektif dari segi pembiayaan dan dana yang telah
dialokasikan.
-
Perlunya reformasi kebijakan mengenai mekanisme
penganggaran untuk menghindari pendanaan yang bersifat keproyekan
Mengingat
masalah klasik pada mekanisme pendanaan yang bersifat keproyekan, maka
kebijakan mekanisme penganggaran secara nasional sangat perlu direformasi.
Pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dijadikan sistem
multi-tahunan, tidak melalui prosedur yang terlalu birokratis, dan
pengalokasiannya disesuaikan dengan musim tanam dan kondisi setempat.
Persetujuan atau penetapan anggaran harus diberikan paling tidak untuk 5-10
tahun dan dipadukan dengan perencanaan rehabilitasi jangka panjang.
Mekanisme
pendanaan yang inovatif untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu
dikembangkan; baik berupa kebijakan yang menawarkan insentif bagi keterlibatan
sektor swasta, maupun pendekatan alternatif seperti Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat. Terakhir, usaha rehabilitasi perlu dikelola bukan sebagai ‘sumber
pembiayaan’ (cost centres), melainkan sebagai ‘sumber penerimaan’ (revenue
centres).
-
Mengatasi penyebab deforestasi dan
degradasi dalam kegiatan rehabilitasi dengan mengintegrasikannya sebagai bagian
dari rancangan kegiatan rehabilitasi.
Identifikasi
penyebab langsung maupun tidak langsung degradasi hutan dan lahan perlu
dilakukan pada tahap perencanaan awal. Dengan pemahaman terhadap hasil yang
bisa dicapai, termasuk produk, jasa dan efek pengganda dari bawah ke atas, maka
rancangan kegiatan rehabilitasi dapat menjadi jauh lebih baik. Dengan
mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara keseluruhan, maka
skenario efek pengganda dapat dimasukkan dalam rancangan proyek sebagai dampak
sasaran untuk dicapai oleh proyek, dalam kerangka waktu yang layak dan jelas.
Penerapan intervensi teknis yang paling tepat dan sesuai dengan permasalahan
mendasar penyebab degradasi menjadi penting, agar perbaikan ekologi yang
signifikan dapat dicapai.
- Memastikan kelayakan ekonomi kegiatan rehabilitasi.
Proyek
cenderung menghasilkan manfaat uang tunai berjangka pendek bagi masyarakat yang
terlibat. Untuk menjamin adanya manfaat ekonomi jangka panjang, berbagai aspek
ekonomi sebaiknya dimasukkan dalam rancangan proyek. Hal ini, antara lain:
mekanisme insentif perlu dirancang untuk mendorong partisipasi masyarakat;
strategi pemasaran perlu ditetapkan dalam proses perencanaan; analisis
kelayakan finansial perlu dilakukan sebelum pelaksanaan proyek; mekanisme
reinvestasi perlu disusun; mekanisme pembagian biaya dan manfaat antara
pemangku kepentingan perlu ditetapkan; dan dampak ekonomi perlu dijamin sampai
pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Untuk memperoleh dampak optimal
dalam menciptakan sumber pendapatan untuk masyarakat setempat, maka kegiatan
rehabilitasi perlu diintegrasikan ke dalam kegiatan proyek yang berorientasi
pembangunan (development project) yang sedang berlangsung.
-
Pengaturan kelembagaan dan kepemilikan
yang lebih jelas untuk meningkatkanketerlibatan aktif masyarakat.
Untuk lebih meningkatnya partisipasi aktif masyarakat, hal-hal
yang penting adalah: organisasi lokal (atau organisasi lainnya) terlibat dalam
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi, atau sebagai alternatif, organisasi
masyarakat yang baru bisa dibentuk dengan tujuan untuk pemberdayaan kapasitas
kelembagaan dan kapasitas teknis masyarakat guna mendukung program
rehabilitasi; adanya proses fasilitasi multi-pihak pada berbagai tahapan
program rehabilitasi, misalnya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi. Selain itu, pengaturan
kelembagaan perlu diarahkan untuk lebih menjamin partisipasi masyarakat pada
setiap tahap proyek. Proyek yang dilaksanakan pada lahan masyarakat cenderung
mempunyai tingkat keberhasilan lebih tinggi dibandingkan proyek yang
dilaksanakan di dalam kawasan hutan. Status lahan yang jelas, berarti konflik
atas lahan akan berkurang, sehingga komitmen dari masyarakat untuk memelihara
tanaman yang ditanam akan lebih kuat, dan anggota masyarakat akan memperoleh
jaminan untuk mempunyai hak memanen atas apa yang mereka tanam di lahan
rehabilitasi dimana mereka ikut terlibat.
-
Perencanaan pengelolaan berjangka
panjang untuk menjamin keberlanjutan kegiatan rehabilitasi.
Proses penetapan kerangka pengelolaan seharusnya partisipatif
yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Persyaratan yang paling penting untuk
menjamin keberlanjutan kegiatan rehabilitasi, antara lain adalah: kegiatan
harus berjangka panjang dan swasembada (berlanjut setelah proyek berakhir);
kegiatan proyek harus dilaksanakan sesuai dengan rencana (tidak ada penghentian
kegiatan proyek sebelum masa proyek berakhir); program rehabilitasi sejalan dan
dipadukan dengan rencana tata ruang daerah; adanya rencana pengawasan dan
evaluasi jangka panjang; adanya mekanisme umpan balik; adanya upaya untuk
melindungi areal rehabilitasi dari gangguan (disturbance), seperti kebakaran
dan perambahan; pembangunan infrastruktur menjadi bagian dari program
rehabilitasi; adanya pengakuan terhadap hak informal atas lahan; dan revisi
pada hak formal atas kepemilikan/penggunaan lahan.
- Memanfaatkan kebijakan desentralisasi sebaik mungkin.
Kebijakan
desentralisasi, yang juga mempengaruhi pengelolaan kehutanan, telah diterapkan
sejak tahun 1998. Walaupun masih terdapat banyak kekurangan, kebijakan
desentralisasi sebenarnya membuka peluang baru dalam perancangan strategi
rehabilitasi hutan dan lahan. Menimbang kenyataan bahwa pemerintah daerah lebih
memahami daerahnya dan prioritas pengelolaan kehutanannya, sebaiknya pemerintah
daerah sendiri, misalnya dinas kehutanan di tingkat propinsi/kabupaten yang
mengarahkan proses perancangan program rehabilitasi yang paling tepat untuk
daerahnya masing-masing. Pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) sebaiknya
berperan sebagai fasilitator dan menyediakan kerangka kebijakan yang
diperlukan.
Pemerintah
bersama semua pemangku kepentingan perlu bekerja keras untuk menanggapi dan
mempertimbangkan berbagai komponen tersebut di atas. Karena kapasitas dan
sumberdaya pemerintah tidak mencukupi untuk melakukan semua kegiatan di
lapangan secara langsung, maka insentif yang tepat harus diberikan untuk
menarik minat sektor lain, seperti sektor swasta, untuk ikut terlibat secara
aktif dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Selain itu, pengelolaan dana
reboisasi dan sistem penganggaran perlu dirombak agar masyarakat setempat dapat
diberdayakan, dan orientasi yang bersifat keproyekan dapat dihindari.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Selama
lebih dari tiga dasawarsa, kegiatan rehabilitasi dilaksanakan pada lebih dari
400 lokasi di Indonesia. Namun, pada tahun 2002 total luas areal hutan dan
lahan yang terdegradasi telah mencapai 96,3 juta ha (54,6 juta ha di dalam
kawasan hutan dan 41,7 juta ha di luar kawasan hutan). Keberhasilan proyek
rehabilitasi, pada umumnya dicirikan oleh keterlibatan masyarakat setempat
secara aktif, serta intervensi teknis yang digunakan secara spesifik mengatasi
penyebab ekologis degradasi hutan yang telah menyebabkan berbagai permasalahan
menyangkut pemanfaatan sumberdaya hutan
bagi masyarakat setempat.
Berbagai
permasalahan yang dihadapi yang sesungguhnya sudah cukup lama dan telah
mengakibatkan program rehabilitasi menjadi tidak efektif, antara lain adalah:
1) target pemerintah yang mengandalkan sumberdaya hutan sebagai sumber
pendapatan nasional yang utama, masih menjadi prioritas bagi pemerintah daerah;
2) perkembangan isu yang lebih kompleks, baik isu mengenai penyebab langsung
maupun penyebab tidak langsung terjadinya deforestasi dan degradasi; 3)
transisi dan pelaksanaan kebijakan yang mempengaruhi kegiatan rehabilitasi; dan
4) orientasi keproyekan masih sangat kuat, sehingga mengakibatkan:a)
pemeliharaan yang tidak memadai pada bibit yang telah ditanam; b) kurangnya
keberlangsungan pendanaan setelah proyek selesai karena tidak adanya mekanisme
reinvestasi, kurangnya analisis kelayakan ekonomi yang memadai atau tidak
adanya kepastian integrasi dengan pasar yang jelas; c) insentif ekonomi yang
tidak jelas, mengurangi minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara
aktif; d) partisipasi masyarakat yang terbatas karena masalah tenurial yang
tidak terselesaikan dan organisasi masyarakat yang tidak efektif; e)
pembangunan kapasitas bagi masyarakat yang tidak efektif; f ) pertimbangan yang
tidak memadai terhadap aspek sosial-budaya; dan pada tingkat yang lebih luas, tidak
adanya pembagian hak dan tanggung jawab yang jelas antara pemangku kepentingan
terkait, terutama pemerintah daerah, masyarakat dan dinas kehutanan.
Kerangka
kebijakan penting yang mempengaruhi inisiatif rehabilitasi, antara lain adalah:
1) sistem klasifikasi hutan dalam kebijakan mengenai Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK); 2) pengembangan HTI dengan menggunakan spesies cepat
tumbuh; 3) sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI) dan sistem Tebang
Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) untuk hutan dataran rendah; dan 4) program
rehabilitasi yang ditugaskan pada perusahaan negara (Inhutani I - V) yang
kemudian dibatalkan. Selain itu, kebijakan berkaitan dengan perubahan politik
dari Era Orde Baru ke Era Reformasi (dari tahun 1998 sampai sekarang), yang
paling menonjol adalah kebijakan Otonomi Daerah yang ditetapkan pada tahun
1999. Semua kebijakan tersebut sangat mempengaruhi inisiatif rehabilitasi.
Apabila inisiatif rehabilitasi akan berlanjut hingga masa mendatang, maka
berbagai faktor penting harus diperhatikan, antara lain: rancangan proyek yang
memadai guna menjamin terciptanya efek pengganda; penyuluhan kehutanan yang
intensif untuk memastikan pengadopsian pendekatan rehabilitasi oleh masyarakat;
kerangka kebijakan yang mendukung seluruh proses; mekanisme pendanaan yang
direncanakan dengan baik untuk pemanfaatan dana reboisasi secara efektif; serta
mekanisme yang efektif untuk merekonsiliasi status lahan sebelum proyek
dimulai.
B.
Saran
Masyarakat sekarang diharapkan untuk berpartisipasi penuh dan
berperan lebih penting dalam kegiatan rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Nawir,
Ani Adiwinata., Murniati dan Lukas Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di
Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?. Center for
International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia.
Kusmana,
Cecep., Istomo.,
Sri Wilarso dan
Endes N. Dahlan. 2004. Upaya
Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Dalam
Pemulihan Kualitas Lingkungan. Seminar Nasional Lingkungan Hidup dan
Kemanusiaan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Deperteman
Kehutanan. 2003. UU NO 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.