Senin, 10 Desember 2012

Penataan Hutan


Tugas Makalah…!

PENATAAN HUTAN

Rehabilitasi Hutan Di Indonesia; akan ke manakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?”





unhalu.jpg




OLEH:

I  S  R  A
D1B5 09 086








JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

I.      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa kegiatan pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan yang  salah satu kegiatannya adalah pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan itu sendiri menurut pada pasal 21 dijelaskan bawah kegaiatan pengelolaan hutan meliputi tata hutan dan penyusunan pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,  rehabilitasi dan rekalamasi hutan dan perlindungan hutan dan konservasi alam.
Rehabilitasi hutan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam rehabilitasi hutan meliputi reboisasi; pemeliharaan tanaman; pengayaan tanaman; dan penerapan teknik konservasi tanah. Dimana kegiatan ini dilakukan untuk memulihkan lahan hutan di Indonesia yang telah mengalami degardasi sebagai akibat dari kegiatan penebangan liar, kebakaran hutan, konversi hutan, perluasan pertanian yang tidak terencana dan konsekuensi dari dimulainya Era Reformasi serta konflik sosial atas sumberdaya hutan.
Pada masa lalu, sebagian besar program rehabilitasi dikendalikan oleh pemerintah, tergantung pada pendanaan dari Pemerintah Indonesia dan donor internasional dan umumnya terfokus pada aspek-aspek teknis. Pengaturan kelembagaan untuk melaksanakan program rehabilitasi secara efektif di lapangan belum dikembangkan. Sebagai akibatnya, teknik rehabilitasi kurang diadopsi oleh masyarakat setempat, baik yang tinggal di dalam maupun di sekitar wilayah sasaran.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan Pendekatan inovatif untuk mencapai tujuan program rehabilitasi, juga pada saat yang bersamaan dapat memberikan manfaat sosial-ekonomi kepada perusahaan dan masyarakat setempat, sehingga fungsi hutan akan tetap berkelanjutan sejalan dengan di adakanya rehabilitasi hutan yang mengalami degradasi dan arah ke dapannya akan lebih baik.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1.      Telah terjadi degradasi hutan di Indonesia
2.      Rehabilitasi hutan pada masa lalu kurang melibatkan masryarakat setempat.
C.    Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui sejarah dari rehabilitasi hutan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan serta arah dari kebijakan tersebut.
Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu agar dapat mengetahui sejarah dari rehabilitasi hutan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan serta arah dari kebijakan tersebut.



















II.        PEMBAHASAN
A.    Sejarah dan Kondisi Deforestasi dan Degradasi Lahan
Perubahan yang dinamis dalam pengelolaan hutan berdampak pada deforestasi dan degradasi lahan, serta program rehabilitasi terkait yang dilaksanakan pada masa lalu dan masa sekarang ini. Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia selama lima puluh tahun terakhir termasuk dalam empat periode utama dengan prioritasnya masing-masing. Selama tahun 1950-an hingga tahun 1975 perhatian utama tertuju pada perluasan pertanian, sedangkan penerbitan ijin hak pengusahaan hutan menjadi prioritas utama dari tahun 1975 sampai tahun 1990an, sementara awal tahun 1990-an hingga 1997 terfokus pada pengelolaan hutan di luar kawasan hutan. Pada periode terakhir dari tahun 1998 sampai sekarang,  Indonesia mengalami perubahan besar di bidang politik dengan pergantian dari Orde Baru ke Era Reformasi. Perubahan dalam kebijakan pengelolaan hutan selalu sejalan dengan tujuan perbaikan kondisi perekonomian nasional. Perubahan yang dinamis tersebut juga berdampak pada peningkatan laju deforestasi, pada aspek ekologi dan penghidupan masyarakat, dan pada program rehabilitasi yang dilaksanakan pada masa lalu dan masa sekarang ini.
-          Faktor pendorong deforestasi dan degradasi lahan yaitu:
1.      Faktor pendorong secara langsung; Penyebab langsung adalah kegiatan penebangan hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan yang tidak dapat dikendalikan dan sering terjadi, terutama pada musim kemarau yang panjang.
2.      Faktor pendorong tidak langsung; Penyebab tidak langsung, antara lain, adalah kegagalan pasar (misalnya penetapan harga kayu yang terlalu rendah), kegagalan kebijakan (misalnya pemberian ijin HPH selama 20 tahun yang tidak menjadi insentif untuk melakukan penanaman pengkayaan), serta persoalan sosial-ekonomi dan politik lainnya secara umum.

3.      Kebijakan dan Program Di Masa Lalu dan Sekarang yang Mempengaruhi Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Dari tahun 1950-an sampai tahun 1970-an pendekatan yang digunakan dalam kebijakan rehabilitasi hutan umumnya bersifat top-down, yang kemudian menjelang akhir tahun 1990-an secara konseptual menjadi lebih partisipatif. Dari tahun 1950-an sampai tahun 1970-an pendekatan yang digunakan dalam kebijakan rehabilitasi hutan umumnya bersifat top-down, yang kemudian menjelang akhir tahun 1990-an secara konseptual menjadi lebi partisipatif.
Sistem klasifikasi lahan hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), yang disusun pada tahun 1984, bertujuan agar rehabilitasi di dalam kawasan hutan menjadi lebih tepat sasaran, namun, konflik batas wilayah telah menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. TGHK ditumpang tindihkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). Kedua hal tersebut menjadi dasar dalam perencanaan dan pengendalian pengembangan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan. Pengembangan HTI dengan tujuan merehabilitasi areal bekas penebangan menyebabkan degradasi dan luas wilayah untuk direhabilitasi semakin bertambah. Sebagian besar perusahaan memperoleh HTI bukan untuk mengembangkan hutan, melainkan untuk menebang habis tegakan hutan yang masih tersisa. Setelah ditebang, pengelolaan areal tersebut tidak dilanjutkan.
Kebijakan yang mengakibatkan resiko lebih tinggi karena areal bekas penebangan menjadi ‘tanah tidak bertuan’: Ketidakjelasan status hutan di areal konsesi yang dibatalkan. Karena kurangnya pengawasan, dan tidak konsistennya penerapan aturan yang ada, maka banyak HPH yang dicabut hak konsesinya, sehingga banyak areal bekas penebangan menjadi tanah tidak bertuan dan areal hutan terdegradasi bertambah luas.
Areal hutan dengan tingkat degradasi yang sangat parah seringkali merupakan akibat dari kebijakan yang tidak konsisten, seperti yang terjadi pada kasus program rehabilitasi yang diserahkan pada badan usaha milik negara. Hal ini tercermin pada pembatalan kebijakan program rehabilitasi yang diserahkan kepada badan usaha milik negara (Inhutani I-V). Setelah baru berjalan selama tiga tahun, program tersebut ditangguhkan tanpa kelanjutan yang jelas.
Kegiatan rehabilitasi pada tingkat nasional setelah Era Reformasi. Sejak tahun 1999, program rehabilitasi yang dilaksanakan di bawah kebijakan otonomi daerah dihadapkan pada tekanan yang lebih berat terhadap areal dan hutan yang telah direhabilitasi, misalnya perambahan hutan. Pengelolaan Dana Reboisasi. Peraturan pemerintah yang berlaku mengenai Dana Reboisasi (DR) adalah PP No. 35 yang ditetapkan pada tahun 2002 untuk menggantikan PP No. 6/1999. Peraturan tersebut menetapkan bahwa empat puluh persen dari DR dialokasikan kembali kepada propinsi yang telah menyumbang pada Dana Reboisasi pemerintah pusat (disebut ‘propinsi penghasil’). Alhasil data mengenai realisasi luas wilayah yang telah direhabilitasi melalui program ini tidak tercatat dengan baik.
4.      Tinjauan Nasional Sejarah dan Karakteristik Kegiatan Rehabilitasi
Sejarah panjang mengenai kegiatan rehabilitasi hutan dapat dibagi ke dalam 6 periode utama, yaitu: pra-kolonial hingga masa kolonial, masa kolonial hingga tahun 1960-an, tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, dan tahun 1990-an sampai sekarang. Selama lima puluh tahun terakhir, terdapat 150 proyek rehabilitasi formal pada sekitar 400 lokasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah proyek baru meningkat tajam sejak 1980-an dan mencapai lebih dari dua kali lipat antara tahun 1990-an hingga tahun 2004. Hal ini dikarenakan tingkat deforestasi yang masih terus meningkat sejak akhir tahun 1990-an dan sedikit sekali proyek rehabilitasi terdahulu yang menunjukkan hasil positif.
Karakteristik penting, tujuan dan pendekatan kegiatan rehabilitasi dari konservasi hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat Setelah terjadinya bencana banjir besar pada akhir tahun 1970-an di Solo, Jawa Tengah, pemerintah melancarkan kegiatan rehabilitasi yang lebih serius yang merupakan titik balik penting dalam penerapan pendekatan rehabilitasi hutan yang berbeda. Pelaksanaan usahatani konservasi di lahan miring dengan menerapkan metode konservasi tanah dan air, yang menggabungkan teknik vegetatif dan sipil teknis, menjadi sistem yang paling efektif dan sering digunakan, terutama di pulau Jawa.
Sejak diberlakukannya TGHK pada tahun 1984, konservasi telah menjadi tujuan spesifik pada kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Tujuan utama kegiatan rehabilitasi di kawasan hutan lindung adalah perbaikan fungsi ekologis, sedangkan di kawasan hutan konservasi pelestarian keanekaragaman hayati menjadi tujuan utama. Namun, usaha tersebut masih belum efektif dan terhambat oleh berbagai masalah, antara lain, penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan hutan yang dikarenakan tekanan dari peningkatan jumlah penduduk serta persaingan penggunaan lahan.
            Dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan selama ini, daerah aliran sungai selalu menjadi dasar yang dipakai sebagai unit pengelolaan. Pendekatan daerah aliran sungai bersifat lebih holistik; dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara faktor biofisik dan intensitas kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dari hulu ke hilir; dan merupakan cara yang cepat dan mudah dalam mengevaluasi dampak terhadap lingkungan. Namun demikian, beberapa masalah sering terjadi, seperti: 1) keefektifan dan relevansi sistem perencanaan masih diragukan, 2) perencanaan kurang terpadu sehingga tidak bisa dilaksanakan di tingkat lapangan; 3) perencanaan tidak sejalan dengan peraturan pemerintah setempat; serta 4) kriteria dan indikator pengawasan dan evaluasi belum sepenuhnya lengkap dan matang.
-       Kendala dan Hambatan Utama bagi Keberlanjutan Kegiatan Rehabilitasi.
Walaupun aspek teknis cukup ditekankan pada kegiatan rehabilitasi di masa lalu atau yang sedang berlangsung, hanya sedikit sekali adanya hasil positif yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Penilaian ini berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tingkat proyek. Ciri-ciri yang diamati dari pelaksanaan proyek adalah: karakterisasi lokasi sebagai bagian dari tahap persiapan, pertimbangan kesesuaian jenis dengan  kondisi lokasi, penyiapan bibit, penyiapan lokasi atau lahan, penanaman yang tepat waktu, serta adanya perencanaan untuk pemeliharaan.
Adanya persemaian pada setiap proyek rehabilitasi sangat penting dalam tahapan mpenyiapan bibit. Namun demikian, prasarana pendukung tersebut tidak ada pada sebagian besar proyek. Hanya 23% dari jumlah proyek yang menyatakan ketersediaan persemaian dan teknik yang digunakan dalam penyiapan bibit, dimana 20% proyek mempunyai persemaian dan 13% proyek memenuhi standar minimum kualitas bibit. Maka tidak mengejutkan lagi, bahwa pada sebagian besar proyek keberhasilan (persen hidup) tanamannya di lapangan rendah.
Kurang dari setengah responden (40% dalam Database 2) menyatakan bahwa aspek sosial-budaya telah dipertimbangkan dalam proyek. Indikator pada aspek sosial-budaya adalah pengakuan organisasi masyarakat setempat sebagai mitra  proyek. Seringkali lembaga adat setempat tidak diperhitungkan untuk peran ini. Lagipula, masyarakat hanya diberikan hak terbatas dan setengah-setengah untuk mengelola wilayah yang telah direhabilitasi, khususnya di dalam kawasan hutan.
Beberapa permasalahan dalam proses pemberian hak kepada masyarakat adalah bahwa hak yang diberikan tidak cukup bermakna, prosesnya dilakukan secara top-down, tidak adanya proses verifikasi di lapangan dan tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik yang jelas. Tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik mengakibatkan bertambahnya ketegangan sosial di lokasi yang akan direhabilitasi. Jenis konflik yang terjadi di dalam kawasan hutan lebih serius dan lebih luas dibandingkan dengan konflik yang terjadi di lahan masyarakat, dan sering berdampak pada keberlanjutan proyek rehabilitasi.
D.    Potret Rehabilitasi Di Indonesia: Dampak Dan Pembelajaran Dari Sepuluh Studi Kasus

Penanaman pohon dalam proyek rehabilitasi menghasilkan beragam jenis produk dengan sebagian besar proyek menghasilkan lebih dari satu produk, seperti kayu, buah-buahan, kayu bakar dan tanaman pangan atau sayur-sayuran sebagai tanaman tumpangsari. Indikator lain dalam menilai dampak terhadap produktivitas lahan adalah perbandingan pertumbuhan dari ketiga kelompok tanaman, yang menunjukkan bahwa riap tinggi dan diameter tanaman yang terendah terdapat pada jenis pohon hutan. Riap tertinggi ditemukan pada jenis pohon serba guna.
-       Dampak rehabilitasi pada areal bekas kebakaran cenderung kurang berkelanjutan dibandingkan dengan areal bekas penebangan.
Melalui suksesi alami vegetasi di areal bekas penebangan dapat dikembalikan pada fase klimaks hutan tropis jika ancaman kebakaran tergolong rendah. Namun, di beberapa areal bekas penebangan ancaman kebakaran meningkat pada saat suhu udara meningkat.
-       Dampak terhadap mata pencaharian: manfaat bagi masyarakat berbasis proyek berjangka pendek.
Masyarakat yang terlibat dalam proyek yang dilaksanakan di luar kawasan hutan lebih mudah meningkatkan pendapatannya setelah 5 tahun proyek berjalan dan pada tahun-tahun berikutnya. Proyek yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan mempunyai kecenderungan kurang menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi masyarakat setempat, bahkan setelah 5 tahun proyek berjalan. Pada jangka pendek (kurang dari 5 tahun) pendapatan masyarakat umumnya berasal dari upah bekerja sebagai buruh proyek. Namun, dalam jangka panjang, tanpa adanya hak formal untuk memanen kayu di dalam kawasan hutan, masyarakat di sekitar lokasi proyek memanfaatkan hutan dan hasil hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten saja. Namun demikian, pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan proyek rehabilitasi masih kurang penting dibandingkan dengan sumber pendapatan keluarga lainnya, seperti penjualan hasil tanaman pertanian dan pendapatan bukan dari pertanian.
-       Dampak terhadap hak akses masyarakat pada sumberdaya hutan.
Kepastian kepemilikan lahan, dan akses pada pohon dan sumberdaya hutan lainnya, merupakan dua dampak positif bagi masyarakat setempat dari proyek rehabilitasi. Dengan hak yang lebih jelas dan pasti atas areal rehabilitasi dan akses pada sumberdaya yang dikelola secara kolektif, maka kekuatan kelembagaan dan budaya tradisional masyarakat setempat akan meningkat, dan ikatan sosial juga  akan membaik. Pada gilirannya, hal ini menuntun pada keterwakilan masyarakat yang jelas dalam segala aspek pengelolaan sumberdaya alam.
-       Kapasitas kelembagaan membaik, tapi masih terdapat konflik dan tingkat ikatan sosial masih rendah.
Dampak yang paling signifikan pada jangka panjang diukur dari kapasitas kelembagaan masyarakat yang meningkat, termasuk keterwakilan masyarakat dalam berbagai aspek pengelolaan sumberdaya alam, dan pada kelembagaan serta kekuatan sosial-budaya masyarakat. Pemberdayaan kelembagaan masyarakat menjadi penting untuk meningkatkan kepastian atas kepemilikan lahan. Kelembagaan masyarakat yang lemah menyebabkan keterwakilan masyarakat yang kurang dalam pengelolaan proyek, yang pada gilirannya mengakibatkan ketidakpuasan, konflik atas status lahan yang meningkat, dan tingkat ikatan sosial yang rendah.
Terdapat tiga sumber konflik atas pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan: 1) benturan kepentingan antara lembaga adat, perusahaan, LSM dan pemerintah, yang tercermin pada hak pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang tumpang tindih; 2) batas lahan yang tidak disepakati oleh semua pihak; serta 3) perambahan hutan karena lemahnya penegakan hukum dan hak pengelolaan yang tidak jelas. Konflik di dalam kawasan hutan seringkali lebih besar dan lebih serius daripada konflik yang terjadi di lahan masyarakat. Sejak era Reformasi masalah perambahan hutan meningkat, yang sering merupakan akibat dari kurangnya kejelasan mengenai siapa yang berhak atas penggunaan lahan, serta lemahnya penegakan hukum.
-       Pengaturan kegiatan rehabilitasi: suatu evolusi dari pendekatan top-down menjadi pendekatan partisipatif berikut dampaknya.
Proyek yang dimulai pada periode top-down mempunyai lebih banyak ciri positif dari segi intervensi teknis dibandingkan dengan proyek yang dimulai dengan pendekatan transisi ataupun secara partisipatif. Hal ini terjadi karena dimulai lebih dari 30 tahun yang lalu, sehingga proyek telah menghasilkan efek pengganda (multiplier effects) dan dampak lainnya. Terdapat lima faktor penting yang signifikan dalam memotivasi dan meningkatkan keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan, berdasarkan pembelajaran pada studi kasus Hutan Rakyat, yakni: (1) dukungan kebijakan dari Bupati, (2) meningkatnya kesadaran kritis atas pentingnya upaya rehabilitasi pada berbagai pihak, khususnya LSM (sejak tahun 1990-an) sehingga kelembagaan setempat dapat dibentuk, (3) budaya feodal patron–client (yang di bawah melayani yang di atas), (4) dukungan modal dalam pengembangan Hutan Rakyat yang berasal dari kiriman anggota keluarga yang bekerja di luar daerah, dan (5) komitmen yang kuat dari masyarakat dalam mengembangkan Hutan Rakyat.
Proyek yang dilaksanakan selama periode transisi masih dicirikan oleh karakteristik dan budaya sentralistik Selama periode transisi, peran masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil, seperti LSM dan lembaga lokal atau adat, sedikit mengalami peningkatan. Pada umumnya perubahan ini terjadi sebagai akibat tekanan yang kuat dari kelompok yang menginginkan lebih banyak keterlibatan masyarakat dalam seluruh kegiatan pembangunan.
Keterlibatan aktif masyarakat setempat merupakan salah satu unsur penting yang mendukung keberlangsungan serta keberhasilan proyek rehabilitasi. Selain itu, intervensi teknis perlu dipilih secara hati-hati dan dirancang dengan mempertimbangkan kondisi ekologi penyebab degradasi, terutama yang sering merupakan gangguan pada areal yang sudah direhabilitasi dan menjadi permasalahan bagi masyarakat setempat.
E.     Reorientasi Program Rehabilitasi di Indonesia: akan ke manakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?

-       Tingkat rehabilitasi yang tertinggal oleh laju degradasi hutan dan alokasi anggaran rehabilitasi yang kurang efektif.
Selama tiga dasawarsa terakhir, tampaknya pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mengatasi degradasi hutan yang semakin meningkat, dan berbagai akibat yang ditimbulkan dari degradasi tersebut. Namun, target pemerintah untuk merehabilitasi 18,7 juta ha dari tahun 1970-an hingga tahun 2004 tidak tercapai, sehingga sisa hutan terdegradasi yang seharusnya 24,9 juta ha, sekarang justru menjadi dua kali lipat yaitu 43,6 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini kegiatan dan proyek rehabilitasi belum berhasil, demikian pula kebijakan serta program yang ada belum bisa mengatasi masalah penyebab degradasi hutan yang sesungguhnya.
Rehabilitasi hutan dan lahan cenderung dilaksanakan sebagai kegiatan yang reaktif daripada kegiatan proaktif yang diintegrasikan dengan pelaksanaan kebijakan pengelolaan hutan yang telah ada. Kegiatan rehabilitasi selama ini pada umumnya dibiayai dari anggaran pemerintah. Biaya rehabilitasi per ha secara umum ternyata lebih besar daripada biaya pembangunan HTI (Rp. 5 juta atau US$ 550 per ha). Biaya rehabilitasi per ha berkisar antara US$ 43 hingga US$15.221 per ha tergantung pada sumber pendanaan. Biaya terendah terdapat pada proyek pemerintah, sementara biaya tertinggi terdapat pada proyek yang didanai lembaga donor internasional karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk tenaga ahli teknis asing yang biasanya dihitung sebagai bagian dari biaya proyek.
Proyek pemerintah yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan ternyata lebih mahal daripada proyek di luar kawasan hutan atau di lahan masyarakat. Besarnya jumlah anggaran kehutanan yang dialokasikan untuk kegiatan rehabilitasi, rendahnya luas areal yang berhasil direhabilitasi pada program pemerintah, serta tingginya biaya per ha, merupakan indikasi kuat bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan rehabilitasi kurang efektif dari segi pembiayaan dan dana yang telah dialokasikan.
-       Perlunya reformasi kebijakan mengenai mekanisme penganggaran untuk menghindari pendanaan yang bersifat keproyekan
Mengingat masalah klasik pada mekanisme pendanaan yang bersifat keproyekan, maka kebijakan mekanisme penganggaran secara nasional sangat perlu direformasi. Pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dijadikan sistem multi-tahunan, tidak melalui prosedur yang terlalu birokratis, dan pengalokasiannya disesuaikan dengan musim tanam dan kondisi setempat. Persetujuan atau penetapan anggaran harus diberikan paling tidak untuk 5-10 tahun dan dipadukan dengan perencanaan rehabilitasi jangka panjang.
Mekanisme pendanaan yang inovatif untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dikembangkan; baik berupa kebijakan yang menawarkan insentif bagi keterlibatan sektor swasta, maupun pendekatan alternatif seperti Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Terakhir, usaha rehabilitasi perlu dikelola bukan sebagai ‘sumber pembiayaan’ (cost centres), melainkan sebagai ‘sumber penerimaan’ (revenue centres).
-       Mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi dalam kegiatan rehabilitasi dengan mengintegrasikannya sebagai bagian dari rancangan kegiatan rehabilitasi.
Identifikasi penyebab langsung maupun tidak langsung degradasi hutan dan lahan perlu dilakukan pada tahap perencanaan awal. Dengan pemahaman terhadap hasil yang bisa dicapai, termasuk produk, jasa dan efek pengganda dari bawah ke atas, maka rancangan kegiatan rehabilitasi dapat menjadi jauh lebih baik. Dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara keseluruhan, maka skenario efek pengganda dapat dimasukkan dalam rancangan proyek sebagai dampak sasaran untuk dicapai oleh proyek, dalam kerangka waktu yang layak dan jelas. Penerapan intervensi teknis yang paling tepat dan sesuai dengan permasalahan mendasar penyebab degradasi menjadi penting, agar perbaikan ekologi yang signifikan dapat dicapai.
-       Memastikan kelayakan ekonomi kegiatan rehabilitasi.
Proyek cenderung menghasilkan manfaat uang tunai berjangka pendek bagi masyarakat yang terlibat. Untuk menjamin adanya manfaat ekonomi jangka panjang, berbagai aspek ekonomi sebaiknya dimasukkan dalam rancangan proyek. Hal ini, antara lain: mekanisme insentif perlu dirancang untuk mendorong partisipasi masyarakat; strategi pemasaran perlu ditetapkan dalam proses perencanaan; analisis kelayakan finansial perlu dilakukan sebelum pelaksanaan proyek; mekanisme reinvestasi perlu disusun; mekanisme pembagian biaya dan manfaat antara pemangku kepentingan perlu ditetapkan; dan dampak ekonomi perlu dijamin sampai pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Untuk memperoleh dampak optimal dalam menciptakan sumber pendapatan untuk masyarakat setempat, maka kegiatan rehabilitasi perlu diintegrasikan ke dalam kegiatan proyek yang berorientasi pembangunan (development project) yang sedang berlangsung.
-       Pengaturan kelembagaan dan kepemilikan yang lebih jelas untuk meningkatkanketerlibatan aktif masyarakat.
Untuk lebih meningkatnya partisipasi aktif masyarakat, hal-hal yang penting adalah: organisasi lokal (atau organisasi lainnya) terlibat dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi, atau sebagai alternatif, organisasi masyarakat yang baru bisa dibentuk dengan tujuan untuk pemberdayaan kapasitas kelembagaan dan kapasitas teknis masyarakat guna mendukung program rehabilitasi; adanya proses fasilitasi multi-pihak pada berbagai tahapan program rehabilitasi, misalnya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Selain  itu, pengaturan kelembagaan perlu diarahkan untuk lebih menjamin partisipasi masyarakat pada setiap tahap proyek. Proyek yang dilaksanakan pada lahan masyarakat cenderung mempunyai tingkat keberhasilan lebih tinggi dibandingkan proyek yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan. Status lahan yang jelas, berarti konflik atas lahan akan berkurang, sehingga komitmen dari masyarakat untuk memelihara tanaman yang ditanam akan lebih kuat, dan anggota masyarakat akan memperoleh jaminan untuk mempunyai hak memanen atas apa yang mereka tanam di lahan rehabilitasi dimana mereka ikut terlibat.
-       Perencanaan pengelolaan berjangka panjang untuk menjamin keberlanjutan kegiatan rehabilitasi.
Proses penetapan kerangka pengelolaan seharusnya partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Persyaratan yang paling penting untuk menjamin keberlanjutan kegiatan rehabilitasi, antara lain adalah: kegiatan harus berjangka panjang dan swasembada (berlanjut setelah proyek berakhir); kegiatan proyek harus dilaksanakan sesuai dengan rencana (tidak ada penghentian kegiatan proyek sebelum masa proyek berakhir); program rehabilitasi sejalan dan dipadukan dengan rencana tata ruang daerah; adanya rencana pengawasan dan evaluasi jangka panjang; adanya mekanisme umpan balik; adanya upaya untuk melindungi areal rehabilitasi dari gangguan (disturbance), seperti kebakaran dan perambahan; pembangunan infrastruktur menjadi bagian dari program rehabilitasi; adanya pengakuan terhadap hak informal atas lahan; dan revisi pada hak formal atas kepemilikan/penggunaan lahan.
-       Memanfaatkan kebijakan desentralisasi sebaik mungkin.
Kebijakan desentralisasi, yang juga mempengaruhi pengelolaan kehutanan, telah diterapkan sejak tahun 1998. Walaupun masih terdapat banyak kekurangan, kebijakan desentralisasi sebenarnya membuka peluang baru dalam perancangan strategi rehabilitasi hutan dan lahan. Menimbang kenyataan bahwa pemerintah daerah lebih memahami daerahnya dan prioritas pengelolaan kehutanannya, sebaiknya pemerintah daerah sendiri, misalnya dinas kehutanan di tingkat propinsi/kabupaten yang mengarahkan proses perancangan program rehabilitasi yang paling tepat untuk daerahnya masing-masing. Pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) sebaiknya berperan sebagai fasilitator dan menyediakan kerangka kebijakan yang diperlukan.
Pemerintah bersama semua pemangku kepentingan perlu bekerja keras untuk menanggapi dan mempertimbangkan berbagai komponen tersebut di atas. Karena kapasitas dan sumberdaya pemerintah tidak mencukupi untuk melakukan semua kegiatan di lapangan secara langsung, maka insentif yang tepat harus diberikan untuk menarik minat sektor lain, seperti sektor swasta, untuk ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Selain itu, pengelolaan dana reboisasi dan sistem penganggaran perlu dirombak agar masyarakat setempat dapat diberdayakan, dan orientasi yang bersifat keproyekan dapat dihindari.





















III.    PENUTUP
A.    Kesimpulan
Selama lebih dari tiga dasawarsa, kegiatan rehabilitasi dilaksanakan pada lebih dari 400 lokasi di Indonesia. Namun, pada tahun 2002 total luas areal hutan dan lahan yang terdegradasi telah mencapai 96,3 juta ha (54,6 juta ha di dalam kawasan hutan dan 41,7 juta ha di luar kawasan hutan). Keberhasilan proyek rehabilitasi, pada umumnya dicirikan oleh keterlibatan masyarakat setempat secara aktif, serta intervensi teknis yang digunakan secara spesifik mengatasi penyebab ekologis degradasi hutan yang telah menyebabkan berbagai permasalahan menyangkut  pemanfaatan sumberdaya hutan bagi masyarakat setempat.
Berbagai permasalahan yang dihadapi yang sesungguhnya sudah cukup lama dan telah mengakibatkan program rehabilitasi menjadi tidak efektif, antara lain adalah: 1) target pemerintah yang mengandalkan sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan nasional yang utama, masih menjadi prioritas bagi pemerintah daerah; 2) perkembangan isu yang lebih kompleks, baik isu mengenai penyebab langsung maupun penyebab tidak langsung terjadinya deforestasi dan degradasi; 3) transisi dan pelaksanaan kebijakan yang mempengaruhi kegiatan rehabilitasi; dan 4) orientasi keproyekan masih sangat kuat, sehingga mengakibatkan:a) pemeliharaan yang tidak memadai pada bibit yang telah ditanam; b) kurangnya keberlangsungan pendanaan setelah proyek selesai karena tidak adanya mekanisme reinvestasi, kurangnya analisis kelayakan ekonomi yang memadai atau tidak adanya kepastian integrasi dengan pasar yang jelas; c) insentif ekonomi yang tidak jelas, mengurangi minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara aktif; d) partisipasi masyarakat yang terbatas karena masalah tenurial yang tidak terselesaikan dan organisasi masyarakat yang tidak efektif; e) pembangunan kapasitas bagi masyarakat yang tidak efektif; f ) pertimbangan yang tidak memadai terhadap aspek sosial-budaya; dan pada tingkat yang lebih luas, tidak adanya pembagian hak dan tanggung jawab yang jelas antara pemangku kepentingan terkait, terutama pemerintah daerah, masyarakat dan dinas kehutanan.
Kerangka kebijakan penting yang mempengaruhi inisiatif rehabilitasi, antara lain adalah: 1) sistem klasifikasi hutan dalam kebijakan mengenai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK); 2) pengembangan HTI dengan menggunakan spesies cepat tumbuh; 3) sistem Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI) dan sistem Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) untuk hutan dataran rendah; dan 4) program rehabilitasi yang ditugaskan pada perusahaan negara (Inhutani I - V) yang kemudian dibatalkan. Selain itu, kebijakan berkaitan dengan perubahan politik dari Era Orde Baru ke Era Reformasi (dari tahun 1998 sampai sekarang), yang paling menonjol adalah kebijakan Otonomi Daerah yang ditetapkan pada tahun 1999. Semua kebijakan tersebut sangat mempengaruhi inisiatif rehabilitasi. Apabila inisiatif rehabilitasi akan berlanjut hingga masa mendatang, maka berbagai faktor penting harus diperhatikan, antara lain: rancangan proyek yang memadai guna menjamin terciptanya efek pengganda; penyuluhan kehutanan yang intensif untuk memastikan pengadopsian pendekatan rehabilitasi oleh masyarakat; kerangka kebijakan yang mendukung seluruh proses; mekanisme pendanaan yang direncanakan dengan baik untuk pemanfaatan dana reboisasi secara efektif; serta mekanisme yang efektif untuk merekonsiliasi status lahan sebelum proyek dimulai.
B.    Saran
Masyarakat sekarang diharapkan untuk berpartisipasi penuh dan berperan lebih penting dalam kegiatan rehabilitasi.






DAFTAR PUSTAKA
Nawir, Ani Adiwinata., Murniati dan Lukas Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan kemanakah arahnya setelah  lebih dari tiga dasawarsa?. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia.

Kusmana, Cecep., Istomo., Sri Wilarso dan Endes N. Dahlan. 2004. Upaya Rehabilitasi Hutan Dan Lahan  Dalam Pemulihan Kualitas Lingkungan. Seminar Nasional Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Deperteman Kehutanan. 2003. UU NO 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar